Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MKMK Putuskan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Melanggar Kode Etik

Literasi Hukum - Setelah menunggu beberapa saat, hari ini akhirnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberikan keputusannya terhadap perkara pengubahan putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim konstitusi Aswanto.

MKMK Putuskan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Melanggar Kode Etik
MKMK Putuskan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Melanggar Kode Etik

Latar Belakang Perkara

Perkara pengubahan substansi putusan ubstansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim konstitusi Aswanto, awalnya mencuat setelah pengacara muda yang Bernama Zico Leonardo diwawancarai oleh Kompas. 

Selanjutnya, Kompas membuat berita terkait dugaan pengubahan putusan. Atas berita tersebut, ramai perbincangan dan desakan kepada MK untuk mengusut dan membentuk MKMK.

Hakim Konstitusi Terduga Pelaku

Dalam wawancaranya di awal, Zico menyampaikan mencurigai 2 (dua) Hakim Konstitusi. Saat itu, ia enggan menyampaikan nama kedua Hakim Konstitusi tersebut. Belakangan, dengan permohonan baru terhadap objek yang sama, Zico menyampaikan agar 2 (dua) Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah untuk tidak diikutsertakan dalam perkara yang diajukan ulang oleh Zico.

Dengan hal tersebut, terkonfirmasilah bahwa Zico menduga Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah merupakan dalang dibalik pengubahan putusan.

MKMK Memperjelas Pelaku

Berdasarkan Fakta yang diperolah MKMK dari keterangan, fakta, dan dokumen selama sidang klarifikasi, sidang pemeriksaan pendahuluan, dan sidang pemeriksaan lanjutan termasuk mendengar keterangan ahli, MKMK menyatakan hakim konstitusi M Guntur Hamzah sebagai terduga pelaku yang mengubah substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim konstitusi Aswanto.

MKMK Menilai M. Guntur Hamzah Melanggar Sapta Karsa Hutama

MKMK dalam putusannya menyatakan meskipun secara hukum, M Guntur Hamzah sah meminta atau mengusulkan perubahan putusan karena Ia merupakan Hakim Konstitusi, akan tetapi secara etik hal tersebut tidak dibenarkan.

Alasan tidak dibenarkan adalah karena saat putusan itu disepakati dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), M Guntur Hamzah bukanlah hakim yang ikut memutus, bahkan ia belum menjadi hakim konstitusi. Selain itu, kondisi persepsi, meskipun belum tentu benar, akan menjadikan dirinya sebagai orang yang memiliki kepentingan terhadap perkara tersebut. 

Diketahui bahwa perkara perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim konstitusi Aswanto yang digantikan oleh M. Guntur Hamzah.

Apa itu Sapta Karsa Hutama?

Sapta karsa Hutama merupakan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik Indonesia. Dalam preambulenya dikatakan bahwa:

Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan sumber hukum tertinggi, menyatakan Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, yang mengakui, menghormati, melindungi, memajukan, dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia. 
Bahwa asas negara hukum yang demokratis serta menjamin pemenuhan hak asasi manusia itu menyatakan segala warga negara wajib menjunjung tinggi hukum dengan tanpa kecuali, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. 
Bahwa dalam rangka perwujudan negara hukum yang demokratis dan penegakan hak asasi manusia, adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu keniscayaan. Bahwa citra peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagai benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kompetensi, serta perilaku para hakim konstitusi dalam melaksanakan amanah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 
Bahwa guna menjaga, memelihara, dan meningkatkan integritas pribadi, kompetensi dan perilaku hakim konstitusi perlu dirumuskan dan disusun kode etik dan perilaku, sebagai pedoman bagi hakim konstitusi dan tolok ukur untuk menilai perilaku hakim konstitusi secara terukur dan terus menerus. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk membantu masyarakat pada umumnya termasuk lembaga-lembaga negara, dan badan-badan lain, agar lebih memiliki pengertian terhadap fungsi Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Mahkamah. 
Bahwa penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima  baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. 
Bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai hakim konstitusi.  
Bahwa prinsip yang termuat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dimaksudkan untuk melengkapi dan bukan untuk mengurangi ketentuan hukum dan perilaku yang sudah ada, yang mengikat hakim konstitusi.

Putusan MKMK

MKMK menjatuhkan hukuman sanksi teguran tertulis kepada Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam kasus mengubah frasa 'dengan demikian' menjadi 'ke depan'. 

Meskipun demikian MKMK dalam putusannya tidak menemukan motif pribadi dalam pengubahan redaksional substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim konstitusi Aswanto.

"Amar putusan. Memutuskan hakim terduga melakukan pelanggaran etik. Menjatuhkan teguran tertulis," kata ketua MKMK I Dewa Gede Palguna saat membacakan putusan MKMK yang disiarkan lewat YouTube MK, Senin (20/3/2023).

Mengapa hanya teguran tertulis? MKMK menilai perubahan pertimbangan putusan sudah jamak atau lazim dilakukan dalam prakteknya di MK, sepanjang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam putusan MKMK, seperti mendapatkan persetujuan oleh seluruh hakim konstitusi, setidak-tidaknya hakim drafter.

"Pengubahan pertimbangan sudah menjadi kelaziman dalam Mahkamah Konstitusi," kata Palguna.

Selain itu, poin lainnya yang meringankan adalah MKMK menilai Guntur berterus terang selama sidang dan kesatria mengakui perbuatannya.

Sedangkan salah satu hal yang memberatkan adalah MKMK menilai dampak perubahan frasa merupakan hilangnya koherensi pertimbangan hukum. 

Apakah yang berlaku putusan yang ditandatangani basah atau yang diucapkan?

MKMK dalam salah satu rekomendasi di putusan tersebut menguraikan bahwa putusan yang berlaku bukanlah putusan yang ditanda tangani basah (Ke depan) melainkan putusan yang diucapkan dalam persidangan (Dengan demikian). 

Setidaknya terdapat 3 (tiga) argumentasi yang mendukung rekomendasi MKMK tersebut, antara lain: Pertama, bahwa setiap putusan memperoleh hukum tetap sejak dibacakan di ruang sidang pengadilan sebagaiamana Pasal 47 yang menyatakan "Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.". Sehingga yang dianggap berlaku adalah apa yang diucapkan. Hal demikian juga sama seperti dalam konteks hukum pidana, keterangan saksi yang dianggap sah dan benar adalah apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan, meskipun sebelumnya ia telah dimintai keterangan dan dicatatkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Kedua, bahwa alasan mengembalikan putusan menjadi putusan yang dibacakan adalah semata-mata menjaga koherensi putusan. Antara pertimbangan yang di atas dengan kalimat "Ke Depan" menurut MKMK tidak memiliki koherensi.

Ketiga, Meskipun MKMK menyatakan bahwa putusan MK merupakan putusan yang Prospektif (berlaku ke depan) tidak retroaktif (berlaku surut), namun demikian, kalimat "Dengan Demikian" menunjukkan sikap batin MK yang tidak membenarkan penggantian Hakim Konstitusi selain daripada apa yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk semata-mata menjaga independensi Hakim dan marwah Hakim Konstitusi.

(a/i)

Unduh Putusan Lengkap MKMK Terkait Pengubahan Putusan oleh Hakim M. Guntur Hamzah:


Posting Komentar untuk "MKMK Putuskan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Melanggar Kode Etik"