Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Implikasi Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia

Literasi Hukum - Asas Legalitas dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang memastikan bahwa setiap tindakan hanya dapat dikenai hukuman jika telah diatur dalam perundang-undangan sebelumnya. Artikel ini menjelaskan implikasi dan tujuan dari asas ini, serta bagaimana pengaturannya dalam konstitusi dan pengesampingannya dalam KUHP. Selain itu, artikel ini membahas ruang penafsiran dalam penerapan hukum. Baca lebih lanjut untuk memahami prinsip asas legalitas dan dampaknya pada sistem hukum Indonesia.

Implikasi Asas Legalitas
Memahami Implikasi Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia

Pengaturan Asas Legalitas

Asas Legalitas dalam hukum pidana Indonesia tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa setiap tindakan hanya dapat dikenai hukuman jika telah diatur dalam perundang-undangan sebelum tindakan dilakukan. 

Implikasi Asas Legalitas

Secara sederhana, asas legalitas dapat diartikan sebagai prinsip hukum yang menyatakan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun individu harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, keberadaan asas ini berimplikasi pada:

  1. Pembuatan hukuman atas tindakan tertentu harus dilakukan melalui proses pembuatan undang-undang (yang jelas, ketat, dan tertulis) sehingga tidak ada tindakan yang dapat dihukum tanpa adanya ketentuan hukum tertulis yang mengaturnya.
  2. Tindakan hukuman tidak dapat diterapkan ke belakang, sehingga hanya dapat diterapkan pada tindakan yang dilakukan setelah hukuman tersebut dibuat.
  3. Tidak diperbolehkan melakukan perbandingan atau analogi dalam penerapan hukum, sehingga setiap kasus harus diatasi secara khusus dan tidak bisa diterapkan pada kasus lain yang serupa.
Dalam rangka memenuhi asas Lex certa, yaitu kepastian hukum, konsekuensi dari tindak pidana harus dirumuskan dalam bentuk hukum pidana yang jelas dan pasti. Prinsip Lex stricta juga harus diterapkan, sehingga hukum pidana tidak dapat ditafsirkan secara bebas atau elastis. Selain itu, hukum pidana harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sesuai dengan asas Lex scripta.

Tujuan Asas Legalitas

Aturan hukum yang sah mencegah kebijakan pidana diterapkan secara retroaktif. Tujuannya adalah untuk memastikan:
  1. Kebebasan individu dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa
  2. Kepastian hukum
  3. Mencegah tekanan psikologis pada pelaku untuk menghindari tindakan yang dilarang (Anselm von Feurbach - aliran rasional).

Masih Memungkinkan Menerapkan Asas Non-Retroaktif

Asas hukum Lex temporis delicti menyatakan bahwa tidak boleh ada penerapan hukum yang berlaku surut. Asas Non retroaktive dapat dilanggar oleh Asas Lex posterior derogat legi priori, yang berarti bahwa dalam kasus di mana dua peraturan berbeda di tingkat yang sama, peraturan yang lebih baru akan mengesampingkan yang lebih lama.

Dengan demikian, dalam KUHP, asas nonretroaktif dapat dilanggar oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang menyatakan bahwa jika ada perubahan dalam hukum setelah tindakan dilakukan, maka aturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa akan digunakan. Ketentuan ini telah mengesampingkan Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Pengaturan Legalitas dalam Konstitusi dan Pengesampingan dalam KUHP

Saat ini, dalam UUD RI 1945 yang telah diamandemen, Pasal 28i ayat (1) menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dikenai tuntutan berdasarkan hukum yang diberlakukan surut. Ini menjadi menarik ketika dibandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang memperbolehkan penggunaan prinsip retroaktif jika perubahan hukum tersebut menguntungkan terdakwa.

Dalam menentukan apakah ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, terdapat beberapa ajaran yang dikenal. Ajaran Formal, menurut Simon, menganggap bahwa perubahan terjadi ketika ada perubahan dalam teks peraturan pidana. Ajaran Materiil terbatas, menganggap bahwa perubahan terjadi ketika terjadi perubahan dalam keyakinan hukum terkait hukum pidana. Sedangkan Ajaran Materiil yang tidak terbatas, menganggap bahwa setiap perubahan dalam peraturan perundang-undangan harus digunakan untuk keuntungan terdakwa.

Dalam konteks ini, meskipun dilarang membuat analogi karena khawatir terjadi penyalahgunaan, tetap ada ruang untuk melakukan penafsiran. Hal ini karena undang-undang seringkali memiliki norma yang tidak jelas (vogue norm) sehingga penafsiran diperlukan untuk memahami substansi undang-undang tersebut.

Adam Ilyas, S.H.
Adam Ilyas, S.H. Penulis yang senang menulis tentang kemajuan hukum dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Posting Komentar untuk "Memahami Implikasi Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia"